Selasa, 29 Oktober 2013

KONTRAVERSI BATAS USIA PENSIUN PNS

Print Friendly and PDF
Oleh : H. CARDIMAN, SP., MP.
(Kepala Bidang Akuntansi pada BPKAD Kota Bekasi, alumni Magister Manajemen Pembangunan Daerah, IPB-Bogor)

Menjelang masa pensiun beberapa pejabat eselon II di Pemerintah Kota Bekasi,  batas usia pensiun (BUP) PNS mulai banyak yang mempertanyakan kembali.  Meskipun, berdasarkan peraturan (UU dan PP) tidak ada perubahan mendasar mengenai BUP yakni masih tetap 56 tahun. 

Secara teoritis, batas usia pensiun (BUP) adalah batas usia dimana seorang manusia dianggap sudah tidak produktif lagi. Penentuan BUP didasarkan kepada  angka harapan hidup masyarakatnya. Di setiap negara mempunyai angka harapan hidup (usia harapan hidup/UHH) yang berbeda-beda. Berdasarkan daftar UHH yang dirilis oleh CIA world Factbook PBB bahwa UHH penduduk dunia (tahun 2011) rata-rata 66,5 tahun.

Negara Monako, Macau dan San Marino masyarakatnya memiliki UHH tertinggi di dunia masing-masing 89,7 tahun, 84,4 tahun dan 83 tahun sehingga menduduki peringkat 1, 2 dan 3 dari daftar UHH dunia.  Sedangkan negara yang masyarakatnya memiliki UHH terendah yakni Zambia, Angola dan swaziland masing-masing 38,6 tahun, 38,2 tahun dan 31,8 tahun  dan menduduki peringkat terakhir masing-masing 189, 190 dan 191. Sedangkan Indonesia berada pada peringkat 108 dengan UHH 70,7 tahun.

 Batas usia pensiun bagi pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia sesungguhnya telah diatur dengan undang-undang nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.  Operasionalnya diatur melalui Peraturan Pemerintah RI nomor 32 tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.  Dalam pasal 3 peraturan pemerintah tersebut disebutkan bahwa batas usia pensiun bagi PNS adalah 56 tahun.

Pada saat peraturan pemerintah tersebut diterbitkan, usia harapan hidup masyarakat Indonesia ada dikisaran antara 55-57 tahun.  Lima belas tahun kemudian, yakni tahun 1994 usia harapan hidup masyarakat Indonesia meningkat menjadi 63,6 tahun dan pada tahun 2011 meningkat kembali menjadi 70,7 tahun. 

Kalau dikomparasikan  antara UHH dengan BUP, pada saat UUH masyarakat Indonesia mencapai 57 tahun, maka BUP ditetapkan 56 tahun.  Sedangkan pada saat sekarang, dimana UHH sudah mencapai 70,7 tahun, apakah BUP-nya masih tetap 56 tahun atau sudah berubah menjadi 60, 62, 65 atau 70 tahun!

Mengapa BUP menjadi kontraversi?
Sebenarnya aturan BUP PNS sudah cukup jelas.  Sebagaimana tertuang dalam pasal 3 PP nomor 32 tahun 1979 dan perubahan-perubahannya.  Mulai dari perubahan pertama pada tahun 1994, perubahan kedua tahun 2008, perubahan ketiga tahun 2011 dan  pada bulan Maret 2013 dilakukan kembali perubahan yang keempat melalui peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2013.  Serta dikuatkan dengan Surat Edaran (SE) dari Meteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) nomor SE/04/M.PAN/03/2006 dan Surat Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) nomor K.26-30/v.80-9/99.

Dari kelima PP tersebut dan dikuatkan pula dengan SE-MENPAN serta keputusan kepala BKN, intinya adalah mengatur BUP PNS pada usia 56 tahun dan dapat diperpanjang hingga 60 tahun bagi pejabat yang menduduki jabatan stuktural eselon I dan II.

Menurut hemat kami, aturan tentang BUP ini sudah cukup jelas, tetapi mengapa masih banyak orang yang tetap mempertanyakannya?  Tampaknya pertanyaan itu mencul karena adanya beberapa faktor yang melatarbelakanginya, antara lain : 1) Adanya informasi-informasi baru seputar reformasi birokrasi, tepatnya adanya Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN) dan 2) Adanya kewenangan tertentu dari pembina kepegawaian untuk  perpanjangan usia pensiun bagi pejabat yang menduduki jabatan eselon II.

Memang dalam pasal 89 RUU ASN dinyatakan bahwa usia pensiun bagi Jabatan Administrasi 58 tahun dan bagi Jabatan Eksekutif Senior 60 tahun.  Diuraikan pula bahwa yang dimaksud Jabatan Administrasi adalah sekelompok jabatan yang berisi tugas pokok dan fungsi berkaitan dengan pelayanan administrasi, manajemen kebijakan pemerintahan, dan pembangunan.  Sedangkan Jabatan Eksekutif Senior adalah sekelompok jabatan tertinggi pada instansi dan perwakilan.  Tetapi sampai saat ini UU ASN masih berupa rancangan dan belum disahkan menjadi undang-undang.  Sehingga BUP 58 tahun masih menjadi wacana belaka.

Kemudian mengenai kewenangan pembina kepegawaian untuk memperpanjang atau tidak memperpanjang usia pensiun pejabat eselon II, memang sangat bersifat subyektif.  Karena kriteria-kriteria yang tertuang dalam PP-nya juga bersifat kualitatif dan bukan bersifat kuantitatif, sehingga tolok ukurnya menjadi subjektif. 

Persyaratan untuk memperpanjang usia pensiun bagi pejabat eselon II ada empat point yaitu 1) Memiliki keahlian dan pengalaman yang sangat dibutuhkan organisasi, 2) Memiliki kinerja yang baik, 3) Memiliki moral dan integritas yang baik, dan 4) Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan keterangan dokter.  Tampak sekali, keempatnya bersifat sangat normatif.
Dari keempat point tersebut  kalau kita uji satu per satu, misalnya point pertama “memiliki keahlian dan pengalaman yang sangat dibutuhkan organisasi”.  Setiap pejabat eselon II dengan pengalaman kerja lebih dari 30 tahun apakah dia tidak memiliki pengalaman dan keahlian?  Jawabannya pasti “memiliki”.  Jadi untuk point pertama semua pejabat eselon II berhak untuk diperpanjang BUP-nya.

Selanjutnya untuk point kedua yaitu memiliki kinerja yang baik.  Selama ini kinerja PNS diukur melalui DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) dan nilai DP3 setiap PNS selalu baik dan meningkat.  Jadi untuk kriteria poin kedua juga semua pejabat eselon II berhak untuk diperpanjang BUP-nya.

Kemudian untuk point ketiga yakni memiliki moral dan integritas yang baik.  Tolok ukur seorang PNS memiliki moral dan integritas yang baik adalah yang bersangkutan tidak tersangkut masalah hukum dan masalah sosial.  Sepanjang pejabat eselon II tersebut tidak tersangkut dengan masalah hukum dan masalah sosial, maka yang bersangkutan juga berhak untuk diperpanjang BUP-nya.

Persyaratan yang terakhir yaitu sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan keterangan dokter.  Untuk point ini, apabila pejabat eselon II tidak sehat secara fisik tanpa keterangan dokterpun biasanya mudah diketahui.  Bila demikian yang bersangkutan tidak berhak untuk diperpanjang BUP-nya.  Tetapi bagi pejabat eselon II yang benar-benar sehat jasmani rohani maka dia berhak untuk diperpanjang BUP-nya.


Kelihatan dengan sangat jelas bahwa keempat persyaratan tersebut yang membuat kewenangan pembina kepegawaian dalam menetapkan untuk memperpanjang atau tidak memperpanjang BUP-nya menjadi sangat sangat subjektif.  Hal ini rupanya yang dapat memunculkan kembali pertanyaan-pertanyaan mengenai BUP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan baik. Blog ini mengaktifkan fitur moderasi. Komentar bersifat spam tidak akan dipublikasi