Selasa, 24 September 2013

NILAI EKONOMI DARI TRADISI MUDIK DAN BERBAGI

Print Friendly and PDF Pada H-1 jalur Pantura Indramayu sudah mulai lengang. Kendaraan pribadi dan bus umum sudah dapat memacu kecepatannya secara normal di atas 80 km/jam. Hanya beberapa rombongan kecil para pemudik dengan sepeda motor terlihat bergerombol di sekitar SPBU untuk mengisi BBM dan istirahat melepas lelah. Seperti biasa sepeda motor mereka tampak keberatan beban muatan dengan empat orang penumpang, dua orang dewasa dan dua orang anak-anak, ditambah lagi sebuah tas ransel di bagian depan dan dua buah kardus di bagian belakang yang diberi tambahan papan yang diikat pada bagian jok belakang sepeda motor mereka. Padahal jalur ini pada H-5 dan H-4 telah dipadati pemudik hingga menimbulkan kemacetan yang sangat panjang hingga mencapai lima kilo meter. Sehingga petugas Polantas di gerbang tol Cikampek harus memberlakukan kebijakan buka-tutup jalur pantura untuk mengurangi kemacetan di jalur utara tersebut. Sesampai di kampung halaman dan setelah melepas penat, para pemudik umumnya langsung menjambangi kedua orang tuanya, saudara-saudara dan kerabat dekatnya sambil tidak lupa membagi-bagikan bingkisan yang dia bawa dari kota dan kegembiraan pun terpancar dari wajah-wajah mereka. Berbagi merupakan salah satu faktor pendorong (push) hingga seseorang memilih memutuskan untuk pergi mudik daripada harus tetap tinggal di kota. Karena pada saat berbagi, yang muncul adalah perasaan kolektif kebahagiaan, kehangatan dan kebersamaan. Banyak pengamat memprediksi, bahwa arus mudik tahun 2013 diperkirakan mencapai 30 juta orang dan masing-masing membawa uang tunai rata-rata 3 juta rupiah. Sehingga uang yang turut serta bersama para pemudik mencapai 90 triliyun. Apabila 60% dari penduduk Kota Bekasi juga pergi mudik, maka 4,5 triliyun rupiah uang tunai yang ikut menggelontor mengalir ke daerah bersamaan dengan perginya para pemudik. Nominal itu cukup besar, nilainya 1,5 kali APBD Kota Bekasi. Apabila dipergunakan untuk menurap tanggul kali Bekasi yang kerap jebol dan sering membanjiri perumahan Pondok Gede Permai, uang itu masih akan berlebih. Bahkan bisa juga untuk membangun fly over Bulak Kapa, memperlebar jalan Pekayon-Pondokgede dan memperbaiki jalan-jalan yang rusak untuk mengurangi kemacetan. Pertanyaannya adalah mampukah uang para pemudik mengakselerasi perputaran ekonomi di daerah dan berapa lama uang tersebut dapat bertahan di daerah? Secara teoritis, adanya aliran uang tunai ke daerah mengakibatkan peningkatan perputaran ekonomi di daerah teresebut. Para pemudik pada saat di perjalanan banyak yang istirahat di rest area dan warung-warung sepanjang jalan, mereka membeli makanan dan minuman sebelum melanjutkan perjalanannya. Sesampai di kampung halaman mereka pun berbelanja makanan lokal dan membeli oleh-oleh khas daerah untuk dibawa pulang balik ke kota. Pendek kata, uang bekal para pemudik dihabiskan semua di kampung halaman dan selama di perjalanan. Dengan demikian volume uang tunai di daerah menjadi meningkat dan perputaran ekonomi juga ikut bergerak lebih cepat. Namun percepatan perputaran ekonomi di daerah tersebut bisa diprediksi tidak akan berlangsung lama. Karena setelah satu minggu selesai lebaran persediaan kebutuhan pokok harian rumah tangga di desa-desa dapat dipastikan sudah menipis bahkan mungkin ada yang sudah habis sama sekali. Minyak goreng habis, tabung gas 3 kg sudah kosong, sabun cuci, sabun mandi dan perlengkapan mandi lainya juga sudah habis serta makanan instan produk mie juga sudah tidak bersisa. Semua kebutuhan tersebut mesti dibeli di minimarket-minimarket yang saat ini sudah menjamur di desa-desa. Belum lagi, awal bulan berikutnya harus membayar tagihan listrik dan sebagaian juga membayar tagihan PDAM. Minimarket yang ada di desa-desa tersebut sesungguhnya merupakan perpanjangan tangan dari pemilik modal besar yang tinggal di kota. Sehingga setiap akhir bulan akan ada aliran dana dari minimarket-minimarket yang tersebar di desa-desa ke kantor pusatnya yang ada di kota. Aliran dana tersebut hampir berbarengan dengan mengalirnya dana dari PLN kabupaten ke PLN wilayah dan pusat. Dengan demikian telah terjadi siklus aliran uang dari kota ke desa dan kembali lagi ke kota. Siklus tersebut terjadi mulai minggu ketiga setelah lebaran sehingga perputaran ekonomi daerah pada minggu ketiga tersebut diperkirakan sudah tidak sekencang pada minggu-minggu menjelang dan setelah lebaran. Dan empat minggu berikutnya, yakni tujuh minggu setelah lebaran sudah bisa dipastikan perputaran ekonomi di daerah akan berjalan normal kembali seperti biasa. Bagaimana Mempertahankan Akselerasi Perputaran Ekonomi Daerah? Upaya untuk mempertahankan perputaran ekonomi daerah agar tetap tinggi merupakan tugas berat bagi pemerintah daerah dan pemerintah pusat serta stakeholders pembangunan baik di tingkat daerah maupun di pusat. Dengan ilustrasi siklus aliran ekonomi yang terjadi saat menjelang dan setelah lebaran sebagaimana di ungkap di atas, maka untuk memperlambat atau bahkan menghambat laju aliran dana agar tidak cepat lari ke kota-kota diperlukan strategi dan kebijakan ekonomi yang komprehensif. Kebijakan ekonomi yang pro rakyat kecil merupakan jawabannya. Meskipun terdengar klasik, namun tetap aktual untuk diterapkan. Pemerintah Pusat melalui APBN dapat meningkatkan alokasi anggaran yang cukup untuk peningkatan sarana prasarana produksi di daerah. Baik berupa produksi pangan maupun produksi kebutuhan pokok non pangan. Sehingga di desa-desa (daerah) akan muncul keanekaragaman pangan khas daerah dan aneka jenis produk kerajinan yang bercorak kedaerahan. Dan untuk memudahkan pemasaran hasil produk tersebut, Pemerintah Daerah melalui APBD agar dapat mengalokasikan anggaran yang memadai untuk merevitalisasi pasar-pasar tradisional sehingga pasar tradisional menjadi pasar yang nyaman dan aman untuk berbelanja maupun berjualan. Dan juga perlu dilakukan penguatan terhadap usaha kios/warung-warung yang tersebar di dalam perkampungan untuk membendung laju pertumbuhan minimarket yang kian menjamur. Dengan perbaikan tempat-tempat pemasaran tersebut, maka produk-produk pangan dan kerajinan masyakat lokal akan bisa dengan mudah dipasarkan di warung-warung dekat rumah mereka maupun di pasar-pasar tradisional. Disamping itu jika masyarakat setempat membutuhkan minyak goreng, tabung gas 3 kg, mie instan dan kebutuhan pokok lainnya tidak perlu lagi membeli di minimarket-minimarket tetapi cukup bisa diperoleh di kios/warung atau pasar tradisional. Dengan demikian aliran uang dari daerah ke kota lajunya dapat diperhambat, sedangkan perputaran uang di daerah akan tetap tinggi. Apabila kondisi seperti itu bisa terjadi, maka akan tumbuh ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi di daerah yang pada gilirannya nanti akan memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Kemudian, yang paling utama apabila terjadi lagi momen-momen seperti mudik lebaran dimana orang-orang kota atau orang-orang rantau pulang kampung dengan membawa serta uang tunai, maka uang tersebut dapat lebih bermanfaat bagi masyarakat di daerah. Karena uang yang dibawa orang kota tersebut tidak langsung mengalir kembali ke kota, tetapi akan meningkatkan perputaran ekonomi di daerah dan akan menjadi penambah investasi di daerah.