Oleh : H. CARDIMAN, SP., MP.
(Kepala Bidang Akuntansi pada BPKAD Kota Bekasi, alumni
Magister Manajemen Pembangunan Daerah, IPB-Bogor)
Hari
senin 29 April 2013 pukul 17.45 wib pesawat airbus dari perusahaan penerbangan Emirates dengan nomor penerbangan EK 802
take of dari Bandara International
Soekarno-Hatta menuju Jeddah. Setelah
11 jam mengudara dan transit di Dubai, menjelang subuh pesawat tersebut landing di ladasan Bandara International
King Abdul Aziz Jeddah.
Saat
rombongan kami yang berjumlah 20 orang datang bersama rombongan lain dengan
pesawat yang sama, suasana Bandara King Abdul Aziz masih lengang. Tiba-tiba ada dua orang laki-laki arab
memakai pakaian model negara Timur Tengah lengkap dengan sorban dan kain gamis
menghampiri kami menawarkan voucer perdana jaringan telepon selular operator mobily, Zain, KSA, STC, Al-Jawal, du,
atau jaringan telpon lokal arab lainnya. Mereka menawarkan voucer telpon kartu perdana isi
30 SR (Saudi Riyal) hanya dibayar dengan Rp. 100.000. Meraka tidak minta dibayar dengan uang riyal,
tetapi mereka minta dibayar dengan uang rupiah, uang seratur ribu rupiah bukan
uang pecahan.
Setelah
mengambil miqot, memakai pakaian
ihrom dan membaca niat umroh di
Jeddah, rombongan langsung menuju Kota Makkah untuk melaksanakan ibadah umroh.
Seperti biasa ritual ibadah umroh didahului dengan membaca niat umroh di
tempat miqot, kemudian melaksanakan thowaf mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran.
Dilanjutkan dengan shalat sunat thowaf
dua rakaat di belakang Maqom Ibrahim
dan minum air zam-zam. Selanjutnya melaksanakan sa’i dengan cara berjalan menaiki dan menuruni bukit Shofa dan Marwah sebanyak tujuh kali.
Selesai itu, bertahalul atau
mencukur/menggunting beberapa helai rambut kepala. Selepas tahalul,
maka usailah sudah ritual ibadah umroh.
Prosesi
ritual ibadah umroh mulai dari thowaf sampai tahalul umumnya dikerjakan selama dua sampai tiga jam. Setelah itu acara bebas, artinya acara selama
di Makkah tidak lagi dipandu oleh seorang pemandu dari travel melainkan
ditentukan oleh masing-masing individu atau kelompok-kelompok kecil. Acara bebas yang mereka gemari umumnya
memperbanyak ibadah di Masjidil Harom dan shoping.
Rupiah Alat Transaksi
Jual Beli di Kota MadMak
Bagi
ibu-ibu dan bapak-bapak yang suka shoping
atau paling tidak hanya belanja untuk sekedar oleh-oleh pulang dari umroh,
belanja dengan menggunakan uang rupiah sama mudahnya dengan uang riyal. Mulai dari pedagang kaki lima yang banyak
menggelar dagangannya di lorong-lorong jalan menuju Masjidil Harom dan Masjid
Nabawi sampai pertokoan mewah yang pakai
credit card juga semua
menerima transaksi dengan mata uang rupiah.
Namun tidak semua pecahan mata uang rupiah mereka mau terima, hanya pecahan
Rp.100.000 atau Rp. 50.000 saja yang mereka inginkan.
Kemudahan
berbelanja juga ditunjang dengan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar dalam transaksi jual-beli.
Hampir semua pedagang dari timur tengah baik orang kulit hitam Afrika
maupun kulit berwarna dari Turki atau Afganistan selalu mencoba menawarkan
barang dagangannya dengan menggunakan bahasa Indonesia. Apalagi pedagang di toko-toko besar, hampir
dipastikan ada pelayannya yang bisa berbahasa Indonesia. Walaupun bahasa
Indonesia yang mereka gunakan terkadang cukup lucu tertengar di telinga, tetapi
cukup komunikatif untuk dijadikan bahasa pengantar transaksi jual-beli. Jadi, Kota Makkah dan
Madinah benar-benar merupakan sorga belanja bagi orang Indonesia.
Kemudahan
bertransaksi dengan mata uang rupiah juga diakui oleh orang-orang Afrika
Selatan, India, Turki, Dubai dan Pakistan bahwa mata uang rupiah dapat
ditransaksikan dengan mudah untuk keperluan sehari-hari buat beli roti, susu,
pisang dan buah-buahan lainnya.
Kondisi
sebaliknya bila kita masuk ke tempat penukaran uang resmi (Money changer). Saat datang
ke tempat itu, kita akan dibuat bingung.
Kenapa? Karena di sana tidak tampak sedikitpun atribut-atribut dari
negara kita Indonesia, jangankan nilai kurs rupiahnya, lambang benderanya juga tidak tampak sama
sekali. Sementara itu mata uang tetangga
negara kita seperti Malaysia, Pakistan, Thailand dan India masing-masing ada
bertengger di papan money changer. Miris rasanya melihat kondisi seperti
ini. Mata uang rupiah yang dengan
mudahnya dipergunakan sebagai alat transaksi jual beli di dua Kota Tanah Harom,
ternyata kursnya tidak dijual belikan secara legal. Melainkan hanya
didapatkan di tempat-tempat penukaran uang yang tidak resmi alias illegal market atau black market.
Di
money changer yang resmi juga
sebenarnya mata uang rupiah bisa ditukar dengan mata uang riyal, tetapi karena
tidak ada di papan kurs maka kita perlu beberapa kali tanya dan konfirmasi untuk
memastikan berapa nilai tukar sebenarnya mata uang rupiah terhadap mata uang
riyal. Kalau petugas money changer yang ditanya kebetulan
jujur, maka dia akan menjawab yang sebenarnya.
Namun bila dia tidak jujur maka nilai kurs rupiah pun akan selalu berfluktuasi.
Tampaknya
kebijakan pemerintah untuk memotong atau menyederhanakan nilai mata uang rupiah
menjadi lebih kecil dengan tanpa mengubah nilai tukarnya (redenominasi), dalam konteks ini perlu didukung penuh. Dengan pemotongan tiga digit, maka yang
semula bernilai Rp.1.000.000 menjadi Rp.1.000.
Dengan demikian, kalau sekarang kurs mata uang riyal 1 SR sama dengan
Rp.2.700, maka kelak akan menjadi 1 SR sama dengan Rp.2,7.
Dengan
kebijakan redenominasi berarti
sekaligus akan menguatkan nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang
negara lain. Artinya nilai mata uang
negara kita sejajar dengan mata uang negara-negara lain di Asia, Eropa, Afrika
maupun Amerika. Dan yang lebih penting
bendera Merah Putih dan kurs mata uang rupiah akan terpampang di papan money changer legal di dua Kota Harom
yaitu Kota Makkah dan Madinah. Kalau
sudah demikian, rasanya harga diri dan kebanggaan kita sebagai bangsa Indonesia
akan semakin melambung tinggi. Bangga karena derajat bangsa kita sama dengan
bangsa lain.
Tweet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan baik. Blog ini mengaktifkan fitur moderasi. Komentar bersifat spam tidak akan dipublikasi